Kisah SD (bagian pertama)

Masa belajar kanak-kanakku terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama yaitu kelas 1-3 di SD swasta di Ambarawa Semarang. Dan yang kedua dilanjutkan di SD negeri di Sleman hingga lulus.

Ini kisahku di sebuah SD swasta di Ambarawa.

Aku sedang dalam tahap nggemesin. Namun sayang waktu itu aku tak tahu bagaimana rasanya gemes. Aku tak pernah berkaca, lalu mencubit pipiku, sambil tertawa gemes. Gemes itu apa?

Masuk Sekolah

Aku masih ingat sekali bagaimana berbinarnya mataku. Saat itu hari pertama masuk sekolah dasar. Tingkat strata sekolah yang dalam pandanganku, keren. Baju putih dengan lambang SD Virgo Maria. Berpadu-padan dengan celana pendek merah yang diikat dengan gesper yang berlogo sama. Aku mengenakan kaos kaki putih dan sepatu hitam sambil ibuku menyisir rambutku yang tak seberapa jumlahnya. Tak lupa kugendong tas baruku, serta gembes berisi air minum yang kuslempangkan di bahu. Sudah semenjak TK, aku diajarkan ibuku untuk mandiri dalam berpakaian. Paling-paling ibuku hanya membetulkan bajuku agar terhimpit rapi di dalam celana. Seperti anak ibu pada umumnya.

Ibuku mengantarkan ke sekolah. SD ini terletak di sisi utara ruas jalan utama Ambarawa-Semarang. Tidak seberapa jauh di sebelah selatan Monumen Palagan Ambarawa. Dalam satu komplek susteran, terdapat 3 sekolah. Mulai TK, SD, dan SMP secara sinergis mengelilingi gedung susteran. Komplek ini dikelola oleh sebuah yayasan. Yayasan Virgo Maria. Yayasan katolik, walaupun menerima semua kalangan siswa tanpa pandang agama mereka.

Ibu mengantar hingga ke gerbang belakang sekolah. Sambil berpesan, “Sinau sing tenan, manut bu guru, ojo nakal! [Belajar yang serius, ikuti kata bu guru, jangan nakal!]”. Setelahnya, ibu berlalu, sambil melambaikan tangan, untuk menuju ke tempat kerjanya, yang kebetulan ada di komplek itu juga. Ibuku seorang guru Bahasa Inggris di SMP Virgo Maria.

Aku pun masuk ke halaman sekolah, sambil tengok kiri kanan, banyak yang menggoda. Mereka sudah besar-besar. Sepertinya kelas 5 atau 6. Memang ruangan kelas di SD ini tersusun urut, dari kelas 1 di bagian paling depan, dan ruangan kelas 6 di bagian paling belakang. Nah, sayangnya aku masuk lewat pintu belakang.

Bagaikan seekor rusa berjalan melewati kawanan macan. Kuambil nafas panjang, huff, kuayunkan langkah pede menuju kelasku. Kelas 1A. Begitu tulisan di atas pintu. Ruangan terdepan, dekat dengan gerbang jalan raya.

Belum terlalu banyak siswa yang hadir. Hanya beberapa siswi yang sudah duduk di bagian depan. Kutarik bangku di baris kedua. Di belakang para siswi. Aku duduk diam, memperhatikan sekitar. Sambil mempelajari hal-hal yang baru bagiku.

Sebuah lemari di sisi kanan kelas. Terbuat dari kayu, bercat coklat natural. Terdapat bagian yang agak lapuk di beberapa sisinya. Di sudut kiri depan, ada sebuah meja besar dengan kursi yang sepertinya empuk. Berbeda dengan kursi siswa yang semua sisinya terbuat dari kayu. Sepertinya itu adalah meja guru, pikirku. Tak ada ornamen lain di ruangan kelas itu. Sangat berbeda dengan kelasku sebelumnya di TK.

Ini benar-benar kelas untuk belajar. Tak ada permainan.

Aku pun mengikuti pelajaran, mulai dari pengenalan para siswa, membuat jadwal, dan prakata lainnya dari guru kelas. Tidak ada yang spesial. Hanya saja, menyenangkan memulai sesuatu hal yang baru.

Imunisasi

Dulu, setiap tahun ajaran baru dimulai, ada agenda wajib bagi siswa di kelas 1. Yaitu kunjungan dari puskesmas. Apalagi kalau bukan untuk melakukan imunisasi. Entah antivirus apa yang akan disuntikkan di tubuh mungilku. Bu dokter, yang aku lupa parasnya, menjelaskan tentang pentingnya imunisasi. Awalnya sih semua siswa diam tenang memperhatikan. Begitu keluar alat yang akan digunakan, seketika itu juga kelas menjadi histeris. Ga cowok, ga cewek, saling sahut menyahut tangisan histeris. Aku terdiam melihat sekeliling. Pada ngapain ya nangis, orang liat jarum doang.

Tanpa ampun, bu dokter, ditemani seorang perawat dan wali kelas kami saat itu, menyuntik para siswa satu per satu. Aku masih bergeming. Hingga saat giliran teman yang duduk di depanku. Tadinya dia pun sudah tidak menangis. Namun begitu jarum menusuk lengannya. Seketika itu pula dia menangis sambil teriak kesakitan. Saat itu juga, aku mulai keringat dingin. Dan mulai menangis. Ya, aku sama dengan mereka. Aku bukan seorang pemberani.

Tiba giliranku. Lengan bajuku disingsingkan. Terasa gosokan kapas yang dingin. Entah cairan apa itu. Alkohol, kelak aku tahu. Jarum dipasang di alat suntik. Aku masih menangis. Suntikan dicoba, untuk memastikan alirannya lancar, dijentikkan jarum suntik dengan menggunakan kuku jari. Aku semakin meraung.

Lalu bu dokter bertanya, “Di mana rumahnya?” Kelak aku tahu bahwa bahasa ini tidak tepat, harusnya Di mana rumahmu? kan?

Kujawab, “Cuma di situ di seberang jalan bu dokter“, sambil masih menangis.

Kemudian bu dokter tersebut berkata, “Sudah“, sambil mengusap lenganku lagi.

Tiba-tiba aku terdiam, tangisan kuhentikan. “Sudah bu dokter?” tanyaku. Beliau mengangguk seraya tersenyum. Ternyata tidak sakit.

Akupun girang berlari keluar sambil berteriak seperti orang gila, “GA SAKIT!”

Sepulang sekolah, aku menceritakan kisah kehebatanku hari itu kepada ibuku. Beliau tertawa terbahak-bahak membayangkan aku teriak-teriak seperti orang gila.

Malam harinya, lenganku terasa sangat pegal, dan aku menangis lagi. Ternyata sakit.

Wulan

Dari 60 siswa kelas 1A, ada salah satu siswa cewek, atau biasa disebut siswi, bernama Wulan. Seingatku wajahnya cantik, tapi tembem. Kulitnya hitam, namun bersih. Rambutnya sebahu dengan style ngebob seperti pacarnya Boboho. Aku belum begitu mengenal kecantikan wanita. Yang kutahu anaknya baik. Sering berbagi bekal denganku. Itu namanya baik.

Karena kondisi keuangan bapak ibuku berada dalam kisaran ngirit, maka hampir setiap hari, ibuku membawakanku bekal makan. Nasi, sayur dan lauk tahu atau telur. Setiap hari. Bosan. Tapi lebih baik bosan daripada lapar kan? Untungnya banyak teman (terutama cewek) yang berbaik hati berbagi bekal. Tidak ketinggalan, Wulan.

Siang itu Wulan membuka bekalnya, dan menunjukkan dua potong roti isi (seingatku). Roti merupakan makanan mewah bagiku saat itu. Apalagi roti tawar tanpa tepi dengan isi sosis atau daging. Hmmm yummy, pikirku. Tanpa segan Wulan menawarkan sepotong padaku. Kuambil satu bagian terdekat, lalu tanganku dia pegang. Tidak seperti biasanya nih. Kutatap matanya sambil tetap tak bersuara. Tapi tanganku tetap menggenggam roti itu.

Dia berkata, “Kamu boleh makan roti ini, dengan syarat jadi pacarku, mau kan?”

Bak petir di siang bolong, aku kaget seketika. Bukan karena dia menembakku, pelajar kelas 1 SD ini. Namun karena, aku tak tau apa artinya pacar.

Ga mau ah,” jawabku sok tau.

Kalau kamu mau, nanti setiap hari aku bawain bekal gini,” rayunya sambil tersenyum sok manis.

Waduh, tawaran ini semakin menggiurkan, batinku. “Oke, aku mau,” jawabku tanpa keraguan lagi berasaskan logikaku saat itu. “Terus aku harus ngapain?” tanyaku penasaran.

Pokoknya, pulang sekolah kita bareng, gandengan. Lalu kamu ga boleh main sama cewek lain.” jawabnya.

Ooke,” jawabku singkat sambil mulai mengunyah roti isi sosis yang enak.

Dinar

Aku dan Wulan tidak pacaran lagi. Aku ga mau pacaran, karena aku akhirnya tau kalau pacaran itu kalau mau menikah. Dan aku belum mau menikah. Dan seingatku, dia pindah sekolah saat kelas 2. Dan jaman itu belum ada Facebook, sehingga cerita kami selesai di situ. Semenjak itu tidak ada wanita yang spesial di hari-hariku. Hingga ada dia.

Dia adalah Dinar. Yang akan mengisi hari-hariku tak lama kemudian. Awal Maret 1993, aku dibangunkan mbah uti (nenek) yang kebetulan menginap di rumah.

Nang, tangi. Kowe arep duwe adik,” bisik mbah uti. [Nak bangun. Sebentar lagi kamu punya adik]

Bangun tegaklah aku sambil tersenyum lebar. Setelah ter-pause sebentar, aku lari ke kamar sebelah, dimana di sana ada cermin besar yang sering digunakan ibu berdandan. Sambil berkaca, aku berkata pada diriku sendiri di seberang cermin, “Aku duwe adik, aku duwe adik.”

Umurku saat itu 6 tahun.

Setelah hari agak siang, aku bersama mbah uti, naik becak menuju ke RSUD. Setelah menunggu cukup lama, tanpa tahu apa yang terjadi. Aku diperbolehkan masuk ke kamar, menemui ibu yang tergolek lemas, namun dengan raut mukanya bahagia. Dan kupandang sesosok makhluk terselimuti kain halus di dekapan ibuku. Kutengok wajah mungilnya. Putih, bersih, sipit, pesek.

Selamat datang di dunia adikku, Dinar.

Nglaju

Dinar sudah genap satu tahun lebih sedikit. Sudah saatnya disapih. Dengan repotnya ibu saat itu mengajar sedangkan bapak sedang merantau mengadu nasib di pinggiran ibukota. Pilihan menyapih dibantu mbah uti. Sayangnya saat itu mbah uti tinggal di sebuah perumahan di Sleman. Dua jam jauhnya naik kendaraan bermotor dari Ambarawa. Aku lupa bagaimana caranya Dinar dibawa ke Sleman. Naik bus mungkin, atau dibonceng simbah dengan Honda 800-nya itu. Entahlah.

Saat itu kami belum mempunyai kendaraan pribadi yang bisa digunakan bersama. Satu-satunya kendaraan pribadi yang kami punya hanyalah sebuah sepeda BMX warna oranye yang dibeli dari bengkel sepeda bekas di dekat alun-alun Ambarawa.

Aku masih duduk di kelas 3. Ibu masih mengajar di SMP Virgo Maria, masih di mata pelajaran yang sama juga, Bahasa Inggris. Kami berdua masih berkutat di Ambarawa. Sedangkan Dinar berada di Sleman. Jauh. Aku Rindu adikku yang lucu.

Dengan tekad yang membulat, setiap hari jumat menjelang sore, kami berdua naik bus ke Ambarawa. Bus kelas ekonomi jurusan Jogja-Semarang. Entah itu Mustika atau Sumber Waras. Ramayana masih terlalu eksklusif bagi kami. Hanya untuk bersama adikku yang masih mungil selama dua hari. Setiap pekan.

Jika senin sudah tiba. Jam 4 pagi kami sudah harus bergegas. Berjalan kaki dari rumah mbah sampai ke pinggir jalan raya. Kira-kira setengah jam jauhnya. Lengkap dengan seragam putih-merah, dan ibu pun berseragam coklat PNS. Ya ibu sudah PNS. Itu alasan kami sulit pindah domisili.

Hingga tiba saatnya pergantian tahun ajaran. Aku beranjak naik ke kelas 4. Entah senang, entah muram, bimbang. Kami akan pindah menetap ke Sleman. Bapak dan ibu sudah dapat kontrakan di dekat rumah mbah. Senang, karena akhirnya bisa bersama dengan Dinar lagi. Muram, karena aku akan berpisah dengan teman-temanku. Namun ibu meyakinkan, di tempat baru akan mendapat teman baru yang tak kalah asyiknya.

Kami berkemas. Semua barang dibungkus kardus. Baju, mainan, perabot, alat sekolah, dan tak lupa berkas-berkas penting, dibungkus rapi nan padat. Waktu menunjukkan pukul 9 malam saat kami bergotong royong dibantu tetangga sekitar, menaikkan barang-barang ke dalam bak truk besar. Selesai sudah, jam 11 malam tepat di hari ulang tahun ibuku kami meninggalkan Ambarawa, beserta semua kenangannya. Pfuh…. ibu meniup lilin di roti ulang tahun yang kami bawa di atas truk.

Selamat tinggal Ambarawa, selamat datang Sleman.

4 Comments Kisah SD (bagian pertama)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *