Mie Ayam

Hari itu berjalan seperti biasanya. Ngantor dan pulang jam 5 sore adalah rutinitas yang kuhadapi setiap hari Senin hingga Jumat. Biasanya, kalau istri sedang di rumah, sepulang kerja aku langsung disodori berbagai macam makanan. Takut kelaparan, katanya.

Namun kali itu aku berkata kepada istriku, sebelum pulang, “Mai nanti ga usah masak, aku pingin jajan seblak yuk.

Setelah mandi dan berganti pakaian yang casual as usual, kami pun mancal Vario biru ke warung seblak yang tak jauh dari rumahku. Saka Garden. Warung kopi yang jual seblak. Kami memesan dua mangkok seblak, satu kopi V60 untukku dan wedang jahe untuk istriku. Kebetulan saat itu ada promo ShoopePay. Keberuntungan bagi istriku, tidak jadi mengeluarkan dompetnya. ?

Kopi, seblaknya ga kefoto 🙁

Seblak kali ini agak berbeda rasanya. Tak seperti seblak-seblak sebelumnya yang kami nikmati di warung itu. Aku belum puas. Masih ada rasa ingin yang bergejolak di perut ini.

Waktu sudah pukul 9 malam. “Pulang yuk,” kataku. Dan kami berdua pun pulang.

Sekitar 20 meter sebelum masuk ke halaman rumah, aku melihat sebuah gerobak mie ayam berwarna biru. Kuhirup dalam aromanya. Aroma mie buatan tangan yang sedang dimasak di tungku panas membara. Berpadu padan dengan aroma minyak bumbu yang sudah tertuang di mangkok berlogo ayam jago merah di sisi luar. Tanpa kusadari kulewati begitu saja, tanpa berkata sepatah kata. Karena aku tau, aku baru saja makan seblak. Konon katanya mie ayam gerobak biru pasti enak.

Kami sampai rumah, dan setelah berbincang sambil nonton TV, kami pun beranjak tidur. Sebelum memejamkan mata, aku bertanya pada diriku. Ada rasa yang mengganjal di dada. Apakah aku merindukannya? Setelah sesaat tadi mencium bau tubuhnya, serta memandang badannya menari-nari di atas karpet putih bergambar ayam jago berwarna merah. Inikah rindu?

Aku tertidur.

Esok paginya, seperti biasa rutinitas kulakukan. Dalam perjalanan ke kantor, di sebuah lampu merah yang memang sedang merah, aku berkata pada diriku. Aku akan menemuinya. Fixed. Aku mau makan mie ayam sepulang kerja.

Seharian bekerja sambil bercanda tawa bersama rekan, tiba waktu pulang. Aku pulang sambil berpikir di mana aku harus menemuinya? Ah aku agak capek. Cari yang sejalan aja ah, pikirku.

Namun ternyata semesta berkata lain, Mie Ayam Pak Sardi favoritku tidak buka. Mie ayam yang terletak di simpang sebelum perempatan Denggung itu salah satu favoritku jika aku pulang lewat jalur utara.

Kuteruskan pencarianku, hingga akhirnya tiba di Mie Ayam Bakso Mas Win Wonosari. Eh tunggu dulu, warungini tidak serta merta berlokasi di Gunung Kidul. Hanya memang, Mas Win ini berasal dari Wonosari.

Kuparkir varioku, tidak lupa pakai standar samping, karena kalau harus standar tegak, kelamaan. Lalu aku pesan seperti biasa, Mie Ayam Bakso Urat satu mas.

Mas Win ini sebenarnya dulu berjualan bakso keliling. Langganan keluargaku. Bakso uratnya jempolan, bakso halusnya lembut nikmat. Entah bertemu wangsit apa, beliau akhirnya menetap membuka warung bakso, plus mie ayam. Komplitlah kesukaan saya, mie ayam dan bakso urat.

Menu ini enak. Mienya kenyal, dengan ukuran sedang, tidak terlalu besar, dan tidak terlalu tipis. bumbu meresap di kuahnya. Dan yang terpenting potongan ayam bumbu kecap, termasuk besar-besar. Ayam beneran nih. Ditambah dengan dua buah bakso urat ukuran sedang. Maknyus.

Mie Ayam Bakso Urat

Kebetulan aku tidak pesan minuman, karena air putih di tumbler masih ada.

Pinten mbak?tanyaku pada istri Mas Win yang ikut membantu. [Berapa mbak?]

Kalihwelas ewu mas,” jawabnya, dan seporsi Mie Ayam Bakso urat itu berharga 12 ribu rupiah saja. Tambahan info, minuman dapat dipesan seharga 3 ribu rupiah. Jadi kalau komplit makan dan minum bisa habis sekitar 15 ribu per orang.

Terima kasih Mas Win sudah mengobati kerinduanku padanya.

Next, pingin nyobain Mie Ayam Pak Sarmintul, yang baru buka, milik teman saya Admin Mie Ayam Jogja.

Mie ayam, hanya ada di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *