Kehidupan itu pasti ada naik turunnya. Kadang di puncak kebahagiaan, kadang di dasar lembah kesedihan. Sebagai orang jawa, aku diajari sama leluhur, budaya nerimo. Karena dari kecil masih thimik-thimik sudah diajari menerima kondisi, yang ndilalahnya memang kondisi bukan orang mampu, hal tersebut terbawa hingga dewasa.
Terus nerimo itu apik ga sih?
Banyak pendapat saling berseberangan. Namun pada umumnya orang-orang akan berpendapat bahwa nerimo adalah sikap yang baik. Dengan nerimo kita akan disuguhi rasa untuk bersyukur, dengan segala hal yang kita miliki sekarang. Seperti diriku yang menurut orang-orang dekat termasuk golongan tukang nerimo.
Namun beberapa orang-orang yang lebih dekat lagi, mengatakan bahwa aku ki kudu ojo terlalu nerimo. Karena dengan nerimo, seperti mengorbankan diri demi kebahagiaan orang lain. Ya ada benernya sih. Kalau dipikir memang aku lebih sering ngalah, memberikan hal yang kumiliki, mengorbankan kesenangan pribadi, demi kebahagiaan orang lain. Tapi opo salah kalau semua itu demi orang-orang yang kucintai?
Jika semua orang tidak mau mengalah, tidak mau berkorban, mungkin tidak akan ada kebahagiaan, karena tertutup oleh ego masing-masing. Walaupun terkadang mengalah itu lelah.
Mana yang benar? Entahlah. Karena tidak ada yang absolut di dunia ini. Sekarang benar besok bisa salah, lusa mungkin dianggap salah. Pertanyaan retorikal yang tak akan ada jawabnya. Perlukah
Nerimo Itu?